Catatan Redaksi: Politik dan Medsos Ditangan Para Pembenci
By Admin
nusakini.com - Catatan Redaksi - KITA kurang tahu pasti, sejak kapan dan bagaimana awal mula media sosial (medsos) menjadi ‘ranah’ untuk menebar kebencian. Yang kita tahu, saat ini medsos demikian membuat suasana demikian terlihat ‘horor’oleh tebaran kebencian, fitnah dan banjirnya luapan caki-maki.
Di tahun 80-an -sewaktu medsos belum menjadi bagian dari keseharian kita- mimpi besar para pegiat (aktifis) politik muda dan cendekiawan di negeri ini adalah adanya sebuah masa di mana atmosfir kesadaran dan partisipasi politik rakyat di negeri ini tumbuh mekar.
Memang setiap zaman punya mimpinya sendiri. Saat itu, di masa Orde Baru tersebut, suasana politik memang terlihat ‘muram’.
Segalanya berjalan dengan dalam kewajaran yang semu. Rakyat dijauhkan dari partisipasi politik. Politik ‘pentung’ ala Orba memang demikian mampu ‘menjinakkan’ siapapun yang mencoba keluar dari jalur dan irama yang dikehendaki rezim yang ada.
Gelombang dan letupan reformasi yang mencapai puncaknya di tahun 1998 seperti memberi harapan akan munculnya masa di mana rakyat ikut ‘merayakan’ kesadaran politiknya.
Kesadaran politik rakyat bangkit dan hadir di era reformasi ini. Bergemuruh dalam angin perubahan yang demikian dahsyat. Partisipasi politik rakyat menemukan momentumnya.
Politik menjadi makanan‘cemilan’ murah dan bisa diperoleh di mana dan kapan saja.
Namun apa boleh buat, reformasi tahun ‘98 tersebut bukanlah ‘makhuk cantik’ dengan segala kesempurnaannya. Rezim Orde Baru yang tertanam kuat selama kurang lebih 32 tahun itu memang benar-benar mewarisi sebuah ‘lobang’ kosong yang demikian menganga dalam ruang politik negeri ini; kesadaran politik yang bangkit tersebut sama sekali tidak dibekali dengan kecerdasan politik.
Rezim Orde Baru memang ‘membumi-hanguskan’ kecerdasan politik ini. Sebuah lubang kosong besar yang dampaknya bisa kita rasakan saat ini, di mana kesadaran dan partisipasi politik demikian membuncah, namun ‘perangkat lunak’ mental kecerdasan politik rakyat nyaris kosong.
Maka yang terjadi adalah ‘gegap gempita’ yang sama sekali nir pencerahan. Media sosial yang awal mulanya diklaim oleh beberapa pakar mampu semakin menguatkan proses kematangan demokrasi dan partisipasi politik rakyat, dengan sendirinya gugur.
Yang ada saat ini adalah kesadaran politik demokrasi yang sekaligus ‘membantai’ demokrasi itu sendiri. Semacam adigium yang mengatakan “setiap revolusi akan memakan anak kandungnya sendiri”. Yang muncul adalah justru fenomena ‘ketidak-sadaran’ politik karena diberangus oleh kebencian, fitnah, hoaks, caci maki dan like and dislike.
Demokrasi yang mengandaikan adanya ‘ruang dialog’ yang cerdas serta partisipasi rakyat yang paham substansi politik menjadi politik ‘ruang gelap’ fitnah,hoaks (berita bohong) dan politik menihilkan satu sama lain. Inilah zaman di mana politik dan media sosial kita menjadi ranah ‘pembusukan’ bangsa sendiri. Sebuah era politik dan media sosial yang berada ditangan para pembenci. [Redaksi]